BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Saat ini pendidikan menjadi pusat perhatian utama pemerintah, sebab merupakan salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Berbagai usaha terus menerus diupayakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus hasilnya. Usaha-usaha tersebut antara lain pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, pengadaan guru, menatar para guru, menyediakan data operasional secara lebih memadai, dan pembaharuan pendidikan (Susilo, 2007: 4). Dalam pembaharuan pendidikan, ada 3 isu utama yang disoroti, yaitu perubahan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektifitas metode pembelajaran. Kurikulum merupakan salah satu hal yang penting dalam rangka perwujudan Pendidikan Nasional yang ideal perlu mendapat sorotan. Kurikulum perlu disempurnakan agar lulusan berbagai jenjang pendidikan yang ada memiliki keunggulan kompetentif dan komparatif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Mulyasa (2006:3) mengungkapkan bahwa“ Perubahan kurikulum ini harus diantisipasi dan dipahami oleh berbagai pihak, karena kurikulum sebagai rancangan pembelajaran memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran yang akan menuntut proses dan hasil pendidikan”. Kurikulum baru 2006 yang sering disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan kurikulum terakhir yang diberlakukan setelah kemunculan kurikulum-kurikulum terdahulu yaitu kurikulum 1975 dan berorentasi pada tujuan, kurikulum 1984 yang berorentasi pada proses, kurikulum 1994 yang berorentasi pada tujuan dan proses dan yang terakhir adalah kurikulum 2004 yang berorentasi pada pencapaian kompetensi. KTSP dapat dikatakan merupakan perubahan kurikulum yang terjadi di beberapa tahun terakhir yang berorentasi pada tujuan dan pencapaian kompetensi, hal ini tentunya membawa tantangan yang lebih. Dalam pelaksanaan kurikulum, perlu diketahui berbagai hal yang berhubungan dengan pelaksanaan kurikulum, terutama penerapan KTSP. Guru
merupakan titik pokok dari suatu kurikulum. Keberhasilan perubahan kurikulum di sekolah sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru yang akan menerapkan dan mengaktualisasikan dalam pembelajaran ( Hamalik :2004). Menurut Mulyasa (2206: 07) “ pemahaman dan penerapan kurikulum di sekolah menuntut guru untuk senantiasa menyempurnakan dan menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta kebutuhan-kebutuhan lokal, nasional, dan global, sehingga kurikulum yang dikembangkan di sekolah betul-betul diperlukan oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan lingkungan dan tuntutan perkembangan jaman”. Menurut Peter (1999:114), bahwa “ pemahaman (comprehension) merupakan proses intreprestasi melalui individu memahami atau merasakan perilaku mereka dan aspek relevan lingkungan mereka”. Jadi pemahaman ini dipengaruhi oleh individu itu sendiri dan lingkungan sebagai media interaksi sosial oleh individu. Lahirnya KTSP dilandasi oleh semangat untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, akan tetapi mutu pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kurikulum Nana Syaodih (E.Mulyasa 2004 :127) menyatakan :betapapun bagusnya suatu kurikulum(official) tetapi hasilnyasangat bergantung pada apa yang dilakukan guru dan juga murid di dalam kelas (actual) ; ini artinya keberhasilan peningkatan mutu pendidikan melalui perubahan kurikulum pada akhirnya akan sangat ditentukan oleh guru sebagai pelaksana kurikulum. Karena itu juga akan ada pertanyaan “Siapkan guru mengimplementasikan KTSP?”. Untuk memahami KTSP guru dapat memperoleh melalui sosialisasi terutama seminar. Pelatihan, atau informasi dan pihak-pihak terkait seperti Kepala Sekolah, Dinas Pendidikan setempat dan lainnya. Dengan adanya sosialisasi tersebut diharapkan guru dapat memahami semua hal yang berkaitan dengan KTSP. Pemahaman guru tentang kurikulum yang sedang diterapkan sebagai bukti kualitas dari guru itu sendiri juga merupakan faktor penting dalam rangka perwujudan tujuan Pendidikan Nasional menurut UU. Pemahaman guru tentang KTSP sangat diperlukan demi terwujudnya penerapan KTSP sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Implementasi KTSP menuntut tenaga pengajar yang terampil, berkualitas, dan mempunyai kinerja yang baik agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dari peserta didik sehingga peserta didik mempunyai kompetensi yang diharapkan. Guru sebagai tenaga professional harus mampu merencanakan, melaksanakan dan melakukan evaluasi pembelajaran (Arifin, dkk : 2000). Kinerja guru adalah sesuatu yang telah dicapai oleh guru atau prestasi yang diperlihatkan guru atau kemampuan kerja guru. Guru sebagai ujung tombak dalam proses pembelajaran merupakam faktor utama dalam KTSP, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya peserta didik dalam belajar. Kinerja guru dapat dilihat dan diukur berdasarkan spesifikasi/criteria kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru. Berkaitan dengan kinerja guru, wujud perilaku yang dimaksud adalah kegiatan guru dalam proses pembelajaran yaitu bagaimana seorang guru merencanakan pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan menilai hasil belajar Agar guru dapat menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam kegiatan pembelajaran maka guru harus memiliki pemahaman tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Berdasarkan latar belakang inilah selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini kajian ilmiah mengenai hubungan pemahaman guru yang profesional tentang KTSP terhadap penerapannya merupakan hal yang tepat dan menarik.
BAB II
ISI
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan dan cara pencapaiannya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah. Kompetensi perlu dicapai secara tuntas (belajar tuntas). Kurikulum dilaksanakan dalam rangka membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, social emosional,kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar. Kompetensi Dasar merupakan pengembangan potensi-potensi perkembangan pada anak yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan usianya berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dapat dikenali melalui sejumlah hasil belajar dan indikator yang dapat diukur dan diamati. Hasil Belajar merupakan cerminan kemampuan anak yang dicapai dari suatu tahapan pengalaman belajar dalam satu kompetensi dasar. Indikator merupakan hasil belajar yang lebih spesifik dan terukur dalam satu kompetensi dasar. Apabila serangkaian indikator dalam satu kompetensi dasar sudah tercapai, berarti target kompetensi dasar tersebut sudah terpenuhi.
Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal (Mulyasa, 2005:10).
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing, dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM).
Ironisnya kekawatiran di dunia pendidikan kini menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar pelajar yang bergejolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul kala menjumpai realitas bahwa guru di sekolah lebih banyak menghukum daripada memberi reward siswanya. Ada kegundahan yang membuncah ketika sosok guru berbuat asusila terhadap siswanya.
Dunia pendidikan yang harusnya penuh dengan kasih sayang, tempat untuk belajar tentang moral, budi pekerti justru sekarang ini dekat dengan tindak kekarasan dan asusila. Dunia yang seharusnya mencerminkan sikap-sikap intelektual, budi pekerti, dan menjunjung tinggi nilai moral, justru telah dicoreng oleh segelintir oknum pendidik (guru) yang tidak bertanggung jawab. Realitas ini mengandung pesan bahwa dunia guru harus segera melakukan evaluasi ke dalam. Sepertinya, sudah waktunya untuk melakukan pelurusan kembali atas pemahaman dalam memposisikan profesi guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama membawa kepentingan dan salng membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak benar sehingga perlu dikaji dan dibahas kembali seperti apakah sikap dan perilaku seorang guru yang professional sejalan dengan profesi yang sangat mulia tersebut.
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing, dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM).
Ironisnya kekawatiran di dunia pendidikan kini menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar pelajar yang bergejolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul kala menjumpai realitas bahwa guru di sekolah lebih banyak menghukum daripada memberi reward siswanya. Ada kegundahan yang membuncah ketika sosok guru berbuat asusila terhadap siswanya.
Dunia pendidikan yang harusnya penuh dengan kasih sayang, tempat untuk belajar tentang moral, budi pekerti justru sekarang ini dekat dengan tindak kekarasan dan asusila. Dunia yang seharusnya mencerminkan sikap-sikap intelektual, budi pekerti, dan menjunjung tinggi nilai moral, justru telah dicoreng oleh segelintir oknum pendidik (guru) yang tidak bertanggung jawab. Realitas ini mengandung pesan bahwa dunia guru harus segera melakukan evaluasi ke dalam. Sepertinya, sudah waktunya untuk melakukan pelurusan kembali atas pemahaman dalam memposisikan profesi guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama membawa kepentingan dan salng membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak benar sehingga perlu dikaji dan dibahas kembali seperti apakah sikap dan perilaku seorang guru yang professional sejalan dengan profesi yang sangat mulia tersebut.
1. Pengertian Profesionalisme Guru
Istilah profesionalisme berasal dari profession. Dalam KamusInggris Indonesia, .profession berarti pekerjaan. Arifin dalam bukuKapita Selekta Pendidikan mengemukakan bahwa profession mengandungarti yang sama dengan kata occupation atau pekerjaan yang memerlukankeahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus.2Dalam buku yang ditulis oleh Kunandar yang berjudul Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan disebutkan pula bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yangartinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif. Jadi, profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu. Menurut Martinis Yamin profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas.4 Jasin Muhammad yang dikutip oleh Yunus Namsa, beliu menjelaskan bahwa profesi adalah suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi serta cara menyikapi lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan yang ahli.. Pengertian profesi ini tersirat makna bahwa di dalam suatu pekerjaan profesional diperlukan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual yang mengacu pada pelayanan yang ahli Berdasarkan definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan atau keahlian yang mensyaratkan kompetensi intelektualitas, sikap dan keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan secara akademis. Dengan demikian, Kusnandar mengemukakan profesi guru adalah keahlian dan kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut secara efektif dan efisien serta berhasil guna Adapun mengenai kata .Profesional., Uzer Usman memberikan suatu kesimpulan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat professional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Kata profesional. itu sendiri berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain. Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal. H.A.R. Tilaar menjelaskan pula bahwa seorang professional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki kemampuan dan sikap sesuai dengan tuntutan profesinya. Seorang profesional menjalankan kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan bukan secara amatiran. Profesionalisme bertentangan dengan amatirisme. Seorang profesional akan terus-menerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar, melalui pendidikan dan pelatihan. Adapun mengenai pengertian profesionalisme itu sendiri adalah, suatu pandangan bahwa suatu keahlian tertentu diperlukan dalam pekerjaan tertentu yang mana keahlian itu hanya diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus.9 Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan
untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Dengan kata lain, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan
kemampuan maksimal. Guru yang profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Sedangkan Oemar Hamalik mengemukakan bahwa guru profesional merupakan orang yang telah menempuh program pendidikan guru dan memiliki tingkat master serta telah mendapat ijazah negara dan telah berpengalaman dalam mengajar pada kelas-kelas besar. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, profesi adalah suatu jabatan, profesional adalah kemampuan atau keahlian dalam memegang suatu jabatan tertantu, sedangkan profesionalisme adalah jiwa dari suatu profesi dan profesional. Dengan demikian, profesionalisme guru dalam penelitian ini adalah profesionalisme guru dalam bidang studi Fiqih, yaitu seorang guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang studi Fiqih serta telah berpengalaman dalam mengajar Fiqih sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru Fiqih dengan kemampuan yang maksimal serta memiliki kompetensi sesuai dengan kriteria guru profesional, dan profesinya itu telah menjadi sumber mata pencaharian.
2. Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional
Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi. Latar belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam kenyataannya banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh guru dalam pembelajaran ada tujuh kesalahan. Kesalahan-kesalahan itu antara lain:
- mengambil jalan pintas dalam pembelajaran,
- menunggu peserta didik berperilaku negatif,
- menggunakan destruktif discipline,
- mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik,
- merasa diri paling pandai di kelasnya,
- tidak adil (diskriminatif), serta
- memaksakan hak peserta didik (Mulyasa, 2005:20).
Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dosen dan Guru, yakni:
- kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik,
- kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik,
- kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam,
- kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan timbul, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik buruk, positif negati, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2000: 15).
Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi. Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan oleh factor ekspernal lainnya. Menurut penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang dalam dunia pendidikan dapat hindari, diantaranya: Pertama, menyiapkan tenaga pendidik yang benar-benar profesional yang dapat menghormati siswa secara utuh. Kedua, guru merupakan key succes factor dalam keberhasilan budi pekerti. Dari guru siswa mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang diberikan. Guru sebagai panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan berperilaku. Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah. Kempat, adanya kerjasama dan interaksi yang erat antara siswa, guru (sekolah) dan orang tua. Terkait dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 % dari sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-lain adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimiliki (Ronnie 2005:62). Namun sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi primadona dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini. Bahkan kompetensi teknis ini dijadikan basis utama dari proses belajar mengajar. Jelas hal ini bukan solusi, bahkan akan membuat permasalahan semakin menjadi. Semakin menggelembung dan semakin sulit untuk diatasi. Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain:
Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi. Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan oleh factor ekspernal lainnya. Menurut penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang dalam dunia pendidikan dapat hindari, diantaranya: Pertama, menyiapkan tenaga pendidik yang benar-benar profesional yang dapat menghormati siswa secara utuh. Kedua, guru merupakan key succes factor dalam keberhasilan budi pekerti. Dari guru siswa mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang diberikan. Guru sebagai panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan berperilaku. Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah. Kempat, adanya kerjasama dan interaksi yang erat antara siswa, guru (sekolah) dan orang tua. Terkait dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 % dari sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-lain adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimiliki (Ronnie 2005:62). Namun sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi primadona dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini. Bahkan kompetensi teknis ini dijadikan basis utama dari proses belajar mengajar. Jelas hal ini bukan solusi, bahkan akan membuat permasalahan semakin menjadi. Semakin menggelembung dan semakin sulit untuk diatasi. Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain:
- kasih sayang,
- penghargaan,
- pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
- kepercayaan,
- kerjasama,
- saling berbagi,
- saling memotivasi,
- saling mendengarkan,
- saling berinteraksi secara positif,
- saling menanamkan nilai-nilai moral,
- saling mengingatkan dengan ketulusan hati,
- saling menularkan antusiasme,
- saling menggali potensi diri,
- saling mengajari dengan kerendahan hati,
- saling menginsiprasi,
- saling menghormati perbedaan.
Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar pembangunan karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.
3. Aspek-aspek Kompetensi Guru Profesional
Dalam pembahasan profesionalisme guru ini, selain membahas mengenai pengertian profesionalisme guru, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan mengenai kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yang profesional. Karena seorang guru yang profesional tentunya harus memiliki kompetensi profesional. Dalam buku yang ditulis oleh E. Mulyasa, Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru itu mencakup empat aspek sebagai berikut:
a. Kompetensi Pedagogik.
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir a dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemapuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b. Kompetensi Kepribadian.
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir b, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
c. Kompetensi Profesioanal.
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir c dikemukakan bahwa yang dimaksud kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing pesrta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan
d. Kompetensi Sosial.
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir d dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi social adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserte didik, dan masyarakat sekitar. Alisuf Sabri dalam jurnal Mimbar Agama dan Budaya mengutip pernyataan Mitzel yang mengemukakan bahwa seorang guru dikatakan efektif dalam mengajar apabila ia memiliki potensi atau kemampuan untuk mendatangkan hasil belajar pada murid-muridnya. Untuk mengatur efektif tidaknya seorang guru, Mitzel menganjurkan cara penilaian dengan 3 kriteria, yaitu: presage, process dan product. Dengan demikian seorang guru dapat dikatakan sebagai guru yang effektif apabila ia dari segi: presage, ia memiliki .personality attributes. dan .teacher knowledge. yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan mengajar yang mampu mendatangkan hasil belajar kepada murid. Dari segi process, ia mampu menjalankan (mengelola dan melaksanakan) kegiatan belajar-mengajar yang dapat mendatangkan hasil belajar kepada murid. Dari segi product ia apat mendatangkan hasil belajar yang dikehendaki oleh masing-masing muridnya. Dengan penjelasan di atas berarti latar belakang pendidikan atau ijazah sekolah guru yang dijadikan standar unsur presage, sedangkan ijazah selain pendidikan guru berarti nilainya di bawah standar. Berdasarkan pemahaman dari uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mutu guru dapat diramalkan dengan tiga kriteria yaitu: presage, process dan product yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Kriteria presage (tanda-tanda kemampuan profesi keguruan) yang terdiri dari unsur sebagai berikut:
a. Latar belakang pre-service dan in-service guru.
b. Pengalaman mengajar guru.
c. Penguasaan pengetahuan keguruan.
d. Pengabdian guru dalam mengajar.
2. Kriteria process (kemampuan guru dalam mengelola dan melaksanakan proses belajar mengajar) terdiri dari:
a. Kemampuan guru dalam merumuskan Rancangan Proses Pembelajaran (RPP).
b. Kemampuan guru dalam melaksanakan (praktik) mengajar di dalam kelas.
c. Kemampuan guru dalam mengelola kelas.
3. Kriteria product (hasil belajar yang dicapai murid-murid) yang terdiri dari hasil-hasil belajar murid dari bidang studi yang diajarkan oleh guru tersebut. Dalam prakteknya meramalkan mutu seorang guru di sekolah atau di madrasah tentunya harus didasarkan kepada effektifitas mengajar guru tersebut sesuai dengan tuntutan kurikulum sekarang yang berlaku, dimana guru dituntut kemampuannya untuk merumuskan dan mengintegrasikan tujuan, bahan, metode, media dan evaluasi pengajaran secara tepat dalam mendisain dan mengelola proses belajar mengajar, disamping itu guru juga harus mampu melaksanakan atau membimbing terjadinya kualitas proses belajar yang akan dialami oleh murid-muridnya. Kemudian dalam buku yang ditulis oleh Martinis Yamin, secara konseptual, unjuk kerja guru menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Johnson mencakup tiga aspek, yaitu; (a) kemampuan profesional, (b) kemampuan sosial, dan (c) kemampuan personal (pribadi). Kemudian ketiga aspek ini dijabarkan menjadi:
a. Kemampuan profesional mencakup:
1) Penguasaan materi pelajaran yang terdiri atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan dari bahan yang diajarkannya itu.
2) Penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan.
3) Penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.
b. Kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawa tugasnya sebagai guru.
c. Kemampuan personal (pribadi) mencakup:
1) Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya.
2) Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai seyogianya dianut oleh seseorang guru.
3) Penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya. Ahmad Sabri dalam buku yang ditulis oleh Yunus Namsa mengemukakan pula bahwa untuk mampu melaksanakan tugas mengajar dengan baik, guru harus memiliki kemampuan profesional, yaitu terpenuhinya 10 kompetensi guru, yang meliputi:
a. Menguasai bahan meliputi:
1) Menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum sekolah;
2) Menguasai bahn pengayaan/penunjang bidang studi;
b. Mengelola program belajar mengajar, meliputi :
1) Merumuskan tujuan intsruksional;
2) Mengenal dan dapat menggunakan prosedur instruksional yang tepat;
3) Melaksanakan program belajar mengajar;
4) Mengenal kemampuan anak didik;
c. Mengelola kelas, meliputi:
1) Mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran;
2) Menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi;
d. Menggunakan media atau sumber, meliputi:
1) Mengenal, memilih dan menggunakan media;
2) Membuat alat bantu pelajaran yang sederhana;
3) Menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar;
4) Menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan
e. Menguasai landasan-landasan pendidikan.
f. Mengelola interaksi-interaksi belajar mengajar.
g. Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
h. Mengenal fungsi layanan dan program bimbingan dan penyuluhan:
i. Mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan penyuluhan;
j. Menyelenggarakan layanan bimbingan dan penyuluhan;
k. Mengenal dan menyelengarakan administrasi sekolah;
l. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. Dalam lokakarya kurikulum pendidikan guru yang diselenggarakan oleh Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G), telah dirumuskan sejumlah kemampuan dasar seorang calon guru lulusan sistem multistrata sebagai berikut:
a. Menguasai bahan yakni menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum-kurikulum sekolah, menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
b. Mengelola program belajar mengajar yakni merumuskan tujuan instruksional, mengenal dan bisa memakai metode mengajar, memilih materi dan prosedur instruksional yang tepat, melaksanakan program belajar dan mengajar, mengenal kemampuan anak didik, menyesuaikan rencana dengan situasi kelas, melaksanakan dan merencanakan pengajaran remedial, serta mengevaluasi hasil belajar.
c. Mengelola kelas yakni mengatur tata ruang kelas dalam rangka CBSA, dan menciptakan iklim belajar yang efektif.
d. Menggunakan media yakni memilih dan menggunakan media, mebuat alat-alat bantu pelajaran sederhana, menggunakan dan mengelola laboratorium, mengembangkan laboratorium, serta menggunakan perpustakaan dalam proses belajar mengajar.
e. Menguasai landasan-landasan kependidikan.
f. Merencanakan program pengajaran.
g. Mengelola interaksi belajar mengajar.
h. Menguasai macam-macam metode mengajar.
i. Menilai kemampuan prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran.
j. Mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
k. Mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah.
l. Mampu memahami dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan yang sederhana guna kemajuan pengajaran.
Kemudian dalam PP No. 19 Tahun. 2005 (Pasal 28) menegaskan mengenai Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan sebagai berikut:
a. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memilki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
b. Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
c. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
1) Kompetensi pedagogik;
2) Kompetensi kepribadian;
3) Kompetensi profesional; dan
4) Kompetensi sosial.
d. Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat dianggap menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan.
e. Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BNSP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Dalam PERMENDIKNAS RI No. 16 Tahun. 2007 (Pasal 1 dan 2) mengenai Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru dijelaskan pula bahwa:
Pasal 1
a. Setiap guru wajib memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru yang berlaku secara nasional.
b. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Ketentuan mengenai guru dalam jabatan yang belum memenuhi kualifikasi akademik diploma (D-IV) atau Sarjana (S1) akan diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.
4. Pengertian dan Kedudukan Kurikulum KTSP
Menurut arti etimologi “Curriculum” berasal dari bahasa Yunani yang mula-mula digunakan dalam bidang olah raga, yaitu kata “Curere” yang berarti jarak yang harus ditempuh (Subandiyah, 1993: 1). Kurikulum dalam pengertian lama adalah : “Sejumlah mata pelajaran atau kuliah di sekolah atau perguruan 11 tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkatan (degree)” (Nasution, 1998: 7, Dimyati dan Mudjiono, 1999, Soetjipto dan Kosasi, 1999).Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, BAB I, Pasal 1,
Ayat 19 menegaskan bahwa yang dimakksud kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Beauchamp (1975: 7) mengatakan bahwa : ”Curriculum is written document which may contain many ingredient but basically it is a plan for the education of pupil during their enrollment in a given school”. Sejalan dengan definisi tersebut di atas Hilda Taba (1962: 11) dalam bukunya : “Curriculum Development, Theory and Practice: mengartikan kurikulum sebagai : “Plan for Learning; therefore, what is known about the learning process and the development of individual has bearing on the shaping a curriculum”. Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan yang dipergunakan untuk pembelajaran peserta didik. Hass, 1974: 4) memberikan batasan yang lebih luas : “ Curriculum is defined as “all of the planned experience that leaners have under the school’s guidance” it includes, of cours, all school activities and planned school service such as the library, health care, assemblies, the food service and lunchrooms, and field trips”. Kurikulum adalah seluruh pengalaman peserta didik yang direncanakan atas bimbingan langsung sekolah, termasuk sejumlah mata pelajaran, dan segala aktivitas dan perencanaan sekolah, seperti pelayanan kepustakaan, menjaga kesehatan, mengadakan pertemuan, menyediakan ruang makan siang serta mengadakan karyawisata. Kurikulum KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Prinsip-prinsip pengembangan KTSP adalah:
(a) Berpusat pada potensi perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungan;
(b) Beragam dan terpadu;
(c) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi dan seni budaya;
(d) Relevan dengan kebutuhan kehidupan;
(e) Menyeluruh dan berkesinambungan;
(f) Belajar sepanjang hayat;
(g) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Dari berbagai rumusan tersebut di atas dapat diperoleh rumusan pengertian kurikulum, di antaranya:
(1) Kurikulum dapat dipandang sebagai program, sebagai kegiatan pembelajaran yang dikehendaki dan sebagai pengalaman belajar;
(2) Kurikulum sebagai program meliputi semua peristiwa di sekolah yang direncanakan untuk mencapai tujuan pendidikan;
(3) Kurikulum sebagai suatu kegiatan belajar yang direncanakan bukan saja mementingkan bahan (what is to be learned) tetapi juga mementingkan proses bagaimana belajarnya peserta didik;
(4) Kurikulum sebagai pengalaman belajar meliputi pengalaman peserta didik yang dilakukan setiap hari;
(5) Kurikulum sebagai program yang tidak tertulis yang perlu direncanakan guru untuk membantu dalam mengimplementasikan program pembelajaran yang bertujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Sejarah mencatat sejak tahun 1968 telah terjadi 6 kali perubahan kurikulum yakni kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum 2004 dan kurikulum 2006 kurikulum KTSP. Pembaruan kurikulum dilakukan bukan berarti ganti menteri ganti kurikulum, namun disebabkan adanya perubahan dalam masyarakat, eksploitasi Ilmu Pengetahuan/Teknologi, Seni, Budaya dan lain-lain mengharuskan adanya perubahan kurikulum (Nasution, 1988: 219, Wachidi, 2006: 1-7). Perubahan Kurikulum tersebut, merupakan salah satu inovasi dalam dunia pendidikan. Kurikulum berubah dikarenakan kurikulum mempunyai “kedudukan sentral” dalam proses pendidikan (Sukmadinata, 1997: 4, Sumantri, 1988: 24). Di samping itu, perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ilakukan oleh pemerintah, dikarenakan adanya perubahan teori pembelajaran yang baru, pendekatan pembelajaran yang baru dan adanya perubahan paradigm baru dalam manajemen pendidikan dari sistem sentralistik menuju desentralistik. Dalam dimensi lembaga, kurikulum berfungsi sebagai rencana tertulis yang dipergunakan sebagai pedoman lembaga dalam penyelenggaraan pendidikan. Dimensi kelas, kurikulum berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Dimensi masyarakat, kurikulum berfungsi untuk memberikan kritik yang konstruktif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 20 tahun (2003: 6), Bab II, Pasal 3 mengamanatkan bahwa : “ … Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
5. Peran Guru dalam Mengembangkan Kurikulum KTSP
Perubahan KTSP menuntut para pelaksana pendidikan untuk memahami, merencanakan, mengembangkan, mengimplementasikan dan mengevaluasinya dalam proses pendidikan. Para pelaksana pendidikan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan, antara lain, kepala sekolah, guru, siswa, orang tua dan karyawan. Guru adalah merupakan salah satu bahkan satu-satunya yang mempunyai kedudukan sentral dan strategis dalam merencanakan, pengembangkan, melaksanakan dan mengevaluasi hasil proses pembelajaran. Oleh sebab itu, guru harus memiliki kompetensi dalam mengembangkan kurikulum yang sedang berlaku.Setelah KTSP diberlakukan diberbagai jenis dan jenjang pendidikan Dasar dan Menengah di seluruh sekolah di Indonesia, maka seluruh jenis dan jenjang pendidikan tersebut masing-masing satuan pendidikan wajib merencanakan, mengembangkan, melaksanakannya dan mengevaluasinya. Kemudian apa peran guru dalam mengembangkan kurikulum KTSP? Dalam dimensi institusi guru berperan untuk mengembangkan visi, misi institusi, merumuskan tujuan institusi, menentukan stuktur program, jenis muatan local, kalender pendidikan, pengembangan diri dan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Dalam dimensi kelas, guru harus mengembangkan silabus, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), media pembelajaran, metode dan strategi pembelajaran, system evaluasi yang digunakan. Berkaitan dengan kemampuan guru, tidak semua guru mampu mengembangkan dan mengimplementasikan KTSP dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan (Knowledges), keterampilan (Skills), Nilai dan sikap (Values/attitudes) yang kurang memadai. Di samping itu, disebabkan oleh kurangnya kepedulian guru dalam menanggapi inovasi KTSP secara leluasa dalam mengembangkan dan menerapkan kurikulum dalam kelas. Oleh karena itu, implementasi KTSP hampir seluruhnya bergantung : “Kreativitas, kecakapan, kesungguhan, dan ketekunan guru” (Sukmadinata, 1997: 2). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa guru-guru pada tingkat pendidikan Dasar dan Menengah dalam menghadapi inovasi kurikulum baru kurang adanya kesungguhan, ketekunan, kecakapan dan kurang adanya kreativitas dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Demikian juga adanya suatu hasil peneltian tingkat kepedulian guru-guru IPS Sekolah Dasar, guru IPS sekolah Menengah Pertama dan guru IPS Sekolah Menengah Atas di kota Bengkulu masih tergolong rendah (Wachidi, 2008). Untuk itu, guru dituntut untuk sunguh-sungguh mengembangkan dan mengimplementasikan KTSP secara profesional. masing-masing satuan pendidikan. Begitu penting peran guru dalam pelaksanaan kurikulum sehingga untuk keberhasilan KTSP itu sendiri maka guru diharapkan untuk kreatif, inovatif, mandiri dan mampu bekerja sama dengan komponen pembelajaran yang lain. Peran guru yang optimal akan semakin memperbesar keberhasilan penerapan KTSP dalam setiap satuan pendidikan dimana guru sebagai pengembang kurikulum Dalam hal pengembangan kurikulum (KTSP) peran guru juga penting, yakni dalam hal menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Fungsi dari RPP adalah untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran agar lebih terarah dan berjalan secara efektif dan efisien. Guru merupakan pengembang kurikulum bagi kelasnya, yang akan meterjemahkan, menjabarkan, dan mentransformasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum kepada peserta didik. Di dalam melakukan kewajibannya guru harus memiliki dan menguasai seperangkat kompetensi yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab profesinya. Hal ini dikarenakan guru merupakan ujung tombak yang menentukan tingkat keberhasilan impelentasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Berdasarkan hasil suatu pengamatan, hasil wawancara, dan hasil dokumentasi, dapat dikatakan bahwa kemampuan guru dalam melaksanakan KTSP sudah baik. Sejumlah guru pernah mendapatkan pelatihan khusus mengenai KTSP yang diadakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan menularkan apa yang di dapat ke teman sejawat. Meskipun ada sejumlah guru yang belum begitu paham mengenai KTSP. Hal ini dapat dilihat dari silabus dan RPP yang dibuat oleh guru sudah sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Walaupun ada beberapa bagian yang masih belum sesuai sebagai akibat kekurantelitian guru. Namun ada beberapa kendala dalam proses penyusunan silabus dan RPP ini, seperti rasa malas dan kurangnya sarana dan parasana yang dimiliki oleh sekolah. Rasa malas yang muncul pada diri guru merupakan hal yang lumrah. Namun kendala tersebut jangan dijadikan kebiasaan. Harus ada moivasi dari diri sendiri atau orang lain sehingga rasa malas tersebut bisa hilang. Adanya reward khusus bagi guru yang menyelesaikan silabus dan RPP tepat pada waktunya, bisa menjadi salah satu jalan keluar yang baik untuk meningkatkan motivasi guru dalam menyelesaikan silabus dan RPP. Selain itu peran kepala sekolah atau teman sejawat juga bisa menolong meningkatkan motivasi tersebut. Kurangnya pemahaman guru bisa diatasi dengan cara guru saling berbagi informasi dengan guru dari sekolah dalam forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Guru juga bisa mengikuti diklat khusus pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Nasional dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Terbatasnya komputer yang dimiliki di ruang guru bukanlah suatu kendala berarti. Fasilitas tersebut bisa digunakan oleh seluruh masyarakat sekolah dan bukan dikhususkan untuk peserta didik saja. Dengan adanya berbagai kendala seperti kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah ini guru menjadi lebih kreatif untuk mengatasinya sehingga pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar tidak lagi mengalami hambatan. Untuk mengatasi kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah tidak berpangku tangan saja. Beberapa sekolah sudah berusaha untuk mengatasai kendala tersebut dengan cara mengajukan beberapa proposal untuk mendapatkan sejumlah dana untuk melengkapi kekurangan sarana dan prasarana yang dimiliki. Namun kurangnya kendala ini seharusnya dapat menimbulkan kreativitas guru. Guru dituntut untuk kreatif agar kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung walaupun tidak ada fasilitas yang dimiliki. Sebagai contoh apabila peserta didik tidak memperoleh referensi mengenai tugas sekolahnya di perpustakaan. Peserta didik dapat mencari referensi lain dari internet yang bisa diakses gratis oleh peserta didik di ruang komputer. Selain itu pemberian tugas tersruktur dan tidak tersruktur yang dirasa masih membingungkan sejumlah guru. Penugasan terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik yang didesain oleh pendidik untuk menunjang pencapaian tingkat kompetensi dan atau kemampuan lainnya pada kegiatan tatap muka. Waktu penyelesaian penugasan terstruktur ditentukan oleh pendidik. Penugasan terstruktur termasuk kegiatan perbaikan, pengayaan, dan percepatan. Kegiatan Mandiri Tidak Terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik yang didesain oleh pendidik untuk menunjang pencapaian tingkat kompetensi mata pelajaran atau lintas mata pelajaran atau kemampuan lainnya yang waktu penyelesaiannya diatur sendiri oleh peserta didik. Guru bisa mengakses internet untuk mencari informasi mengenai tugas terstruktur dan tugas tidak terstruktur. Di dalam internet biasanya ada suatu website khusus untuk saling berbagi informasi mengenai pendidikan dari banyak guru dari berbagai pelosok di Indonesia. Kita bisa dapat mengambil sedikit apa yang kita butuhkan kemudian disesuaikan dengan keadaan di sekolah.
Terima Kasih atas infonya.
BalasHapusalifqofrahamzah.blogspot.co.id
sungguh sangat membantu, terima kasih banyak atas infonya
BalasHapussungguh sangat membantu, terima kasih banyak atas infonya
BalasHapusblog yang luar biasa...manteeep dan terimakasih
BalasHapus